“KAWANKU
DAN AKU”
karya: Chairil Anwar
Kami sama pejalan larut
Menembus Kabut
Hujan mengucur badan
Berkakuan kapal-kapal di pelabuhan
Darahku mengental pekat. Aku tumpat padaf
Siapa berkata-kata ………?
Kawanku hanya rangka saja
Karma dera mengelucak tenaga
Dia bertanya jam berapa ?
Sudah larut sekali
Hilang tenggelam segala makna
Dan gerak tak punya arti
Menembus Kabut
Hujan mengucur badan
Berkakuan kapal-kapal di pelabuhan
Darahku mengental pekat. Aku tumpat padaf
Siapa berkata-kata ………?
Kawanku hanya rangka saja
Karma dera mengelucak tenaga
Dia bertanya jam berapa ?
Sudah larut sekali
Hilang tenggelam segala makna
Dan gerak tak punya arti
“YANG
TERAMPAS DAN YANG TERPUTUS”
karya: Chairil Anwar
kelam
dan angin lalu mempesiang diriku,
menggigir juga ruang di mana dia yang kuingin,
malam tambah merasuk, rimba jadi semati tugu
menggigir juga ruang di mana dia yang kuingin,
malam tambah merasuk, rimba jadi semati tugu
di Karet, di Karet (daerahku y.a.d) sampai juga deru dingin
aku berbenah dalam kamar, dalam diriku jika kau datang
dan aku bisa lagi lepaskan kisah baru padamu;
tapi kini hanya tangan yang bergerak lantang
dan aku bisa lagi lepaskan kisah baru padamu;
tapi kini hanya tangan yang bergerak lantang
tubuhku diam dan sendiri, cerita dan peristiwa berlalu beku.
“PADA SUATU HARI NANTI”
Karya : Supardi
Djoko Damono
Pada suatu hari nanti,
Jasadku tak akan ada lagi,
Tapi dalam bait-bait sajak ini,
Kau tak akan kurelakan sendiri.
Pada suatu hari nanti,
Suaraku tak terdengar lagi,
Tapi di antara larik-larik sajak ini.
Kau akan tetap kusiasati,
Pada suatu hari nanti,
Impianku pun tak dikenal lagi,
Namun di sela-sela huruf sajak ini,
Kau tak akan letih-letihnya kucari.
“SEBELUM
LAUT BERTEMU LANGIT”
karya : Eka Budianta
Seekor penyu pulang ke laut
Setelah meletakkan telurnya di pantai
Malam ini kubenamkan butir-butir
Puisiku di pantai hatimu
Sebentar lagi aku akan balik ke laut.
Puisiku – telur-telur penyu itu-
mungkin bakal menetas
menjadi tukik-tukik perkasa
yang berenang beribu mil jauhnya
Mungkin juga mati
Pecah, terinjak begitu saja
Misalnya sebutir telur penyu
menetas di pantai hatimu
tukik kecilku juga kembali ke laut
Seperti penyair mudik ke sumber matahari
melalui
desa dan kota, gunung dan hutan
yang menghabiskan usianya
Kalau ombak menyambutku kembali
Akan kusebut namamu pantai kasih
Tempat kutanamkan kata-kata
yang dulu melahirkan aku
bergenerasi yang lalu
Betul, suatu hari penyu itu
tak pernah datang lagi ke pantai
sebab ia tak bisa lagi bertelur
Ia hanya berenang dan menyelam
menuju laut bertemu langit
di cakrawala abadi
yang menghabiskan usianya
Kalau ombak menyambutku kembali
Akan kusebut namamu pantai kasih
Tempat kutanamkan kata-kata
yang dulu melahirkan aku
bergenerasi yang lalu
Betul, suatu hari penyu itu
tak pernah datang lagi ke pantai
sebab ia tak bisa lagi bertelur
Ia hanya berenang dan menyelam
menuju laut bertemu langit
di cakrawala abadi
“NARASI DI
BAWAH HUJAN”
Karya : Soni Farid Maulana
hujan,
curahkan berkahmu yang hijau
pada lembah
hatiku.
puaskan
dahaga tumbuhan,
hingga
jiwaku terasa segar membajak kehidupan.
di pinggir
jendela aku ingat benar tahun lalu
aku masih
kanak, bersenda gurau, bernyanyi riang,
memutar-mutar
payung hitam di bawah curahmu;
yang
berkilauan bagai perak disentuh matahari.
o, hujan.
Puaskan dahaga jiwaku
agar hidupku
menyeruak bagai tumbuhan
menjemput
Cahaya Maha Cahaya
Of the
five poems above, I liked the poem titled "Temanku dan Aku" because it tells the story of friendship, for
better or worse they will always be together. and I hope I get even one. This
world is too cruel not to have them. maybe some people think "it's okay
not to have them as long as we have a family" but to me when telling about
something bad to the families will be no fear for disappointment. I've read
that humans have 3 mask, the first mask for a family, two masks to the public,
and the third to a friend. three masks to show something crazy about ourselves.
and I agree. even though without reducing the presence of family.