CINTA LAMA YANG MENGGODA
Kau pergi meninggalkan gelas yang masih terisi penuh. Sungguh
bukan akhir cerita seperti yang kuharapkan. Tanpa berpaling sedikitpun
ke meja ini, kepadaku yang mulai dihinggapi perasaan cengeng, seperti
perasaan anak kecil yang kehilangan permennya. Seperti pecundang.
Sementara tanganku memainkan sendok minuman, mataku tak bisa berhenti
merekam setiap langkah, setiap detil, setiap detik peristiwa yang tidak
ingin aku lupakan. Setiap langkah yang begitu kejam.
Menjauh…menjauh..dan hilang.
—-
Delapan tahun berlalu.
Sarapan pagi ini serasa hambar. Sehambar kehidupanku. Meninggalkan
meja makan dengan disambut dengan senyuman istri, dan aku balas
tersenyum kepadanya. Menuju mobil, dengan tangan dikecup, dan kubalas
mengecup keningnya. Semuanya tanpa rasa. Mobil berjalan dengan datar dan
seolah repetisi. Ya, repetisi. Aku hampir bisa menebak bahwa setiap
hari-hari ini sama dengan hari-hari kemarin.Dan ketika pulang kerja dia
menyediakan minuman, membalas salam serta mengerjakan keperluan lainnya.
Jadi, kalau besok masih ada hari, maka ceritanya adalah: Dia akan
datang, merapikan kerah bajuku, memastikan wajahku, mencium tanganku,
sebelum akhirnya aku memasuki mobil dan meninggalkannya. Sama. Hidup
yang membosankan.
Hera istriku. Dia sabar, keibuan, dan sangat setia. Orang yang
sekarang menjadi perempuan yang paling bisa kusentuh. Perempuan yang
tidak pernah protes. Perempuan yang sangat santun dan sangat hati-hati
dengan kata-katanya padaku.
Saat malam, saat dia mulai terlelap setelah kami selesai bergumul,
tidak ada lang istimewa. Aku bangkit meninggalkannya terbaring di
tidurnya. Membuka jendela kamar, dan seperti orang linglung, memandangi
langit gelap. Kosong, sekosong kehidupan ini.
Blackberry lebih menarik daripada langit. Membuka situs berita.
Sebuah judul yang mulai menggangguku. Sebuah nama yang kemudian
mengejutkan.
“Savira datang ke Indonesia: Promo tour buku barunya”
—
“Bapak Agung Kurniawan”. Suara memanggilku.
Suatu siang di sebuah ruangan di sebuah kantor penerbitan. Seorang
resepsionis tersenyum dan mempersilakan aku duduh di meja tamu. Yang
punya ruangan, tampak memandang jendela sembari menutup telepon.
“Halo Agung. Wow..delapan tahun kita berpisah. Aku rindu sama kamu”
Perempuan itu, Savira. Masih cantik seperti yang dulu. Masih seperti
apa yang aku bayangkan di kepala.Mengenakan blouse kerja warna kombinasi
putih, biru dan ungu. Warna favoritenya. Berkacamatan dengan bingkai
tebal yang nangkring di hidungnya yang mbangir. Rambutnya lurus tebal,
hitam alami, sebahu dengan potongan rapi. Semuanya hadir sempurna,
dengan wajah seolah penuh kemenangan. Duduk di kursi layaknya kursi
direktur, dengan tangan memainkan HPnya.
“Mau apa kamu datang ke mari!”, kataku, ketus. Yang aku tanya hanya
beringsut, meletakkan HP di meja kerjanya, lalu menatapku agak dalam.
“Hmm..sambutan yang sangat menyenangkan”, dia bangkit. Tetap tersenyum sambil berjalan ke meja tamu. Mendekatiku.
“Jawab saja!” kataku. Dia duduk di seberangku. Tersenyum dan seolah
tidak terganggu dengan kata-kata kasarku. Sebentar kemudian dia bangkit
dan seperti akan duduk di sampingku. Aku menunduk sambil sesekali
melihat wajahnya. Sungguh, walaupun hanya sekilas kali, segala sesuatu
yang ada padanya seolah sangat membekas.
“Yang pertama, aku kangen sama kamu. Yang kedua, tentu saja soal kerjaan.”katanya. huh..naif.
Aku bangkit, menghindari situasi yang sepertinya memojokkanku. Menuju
ke jendela sekedar mencari ruang menghindarinya. Tetapi dia seperti
tidak peduli.
Dia berdiri dengan anggun, berjalan dengan bibir merah yang sedikit
terbuka. Mendekati dan berkata dengan sangat-sangat menggoda.
“Kamu masih belum berubah, Gung. Masih segagah yang dulu.”
Aku melangkah ke sudut yang lain. Menghindari dia, dan segala sesuatu yang berkecamuk di kepala.
“Aku sudah menikah. Anakku sudah dua.”, kataku. Dia mengangguk. Dan sepertinya dia memang sudah pekak. Tidak peduli.
“Aku tidak berubah. Aku masih seperti yang dulu. Masih mencintaimu.”, katanya. Huh, memuakkan.
“Cinta seperti apa? Cinta membiarkan aku bertanya selama delapan
tahun tentang sebuah alasan logis mengapa kamu pergi dan tidak pernah
memberi kabar? Cinta yang membiarkanku memilih kehidupanku sendiri? “
“Tenang, Gung. Pelankan suaramu. Aku tidak menyesali bahwa pada
akhirnya kamu sudah menikah. Aku tidak menyesal. Aku bahkan senang kamu
sudah bahagia. Sudah bersama dengan yang lain. Memiliki anak dan
memiliki kehidupan yang bahagia.”, katanya.
Sejenak kemudian ia berbalik, menuju ke dispenser. Membasahi tenggorokannya dengan air mineral. Lalu bicara lagi.
“Aku juga tidak memiliki alasan yang lain. Aku memang ingin belajar
tinggi, begitu mendapat beasiswa ke Jerman, bagiku itu adalah sebuah
alasan yang cukup untuk kita berpisah. Sangat cukup.”
Aku bosan untuk berdebat seperti sinetron dangdut murahan di stasiun tivi. Tetapi mungkin situasi ini tidak terhindarkan.
“Oh. Aku masih sama tidak pahamnya. Kalaupun jauh, apakah tidak
mungkin kita tetap saling mencintai? Tidak ada kabar. Kau tahu delapan
tahun tak pernah ada kabar. Delapan tahun aku terus bertanya, ada apa
dengan dirimu.”
“Itu pilihanku, Gung. Aku tidak ingin kamu menungguku dalam
ketidakpastian. Perasaan bisa berubah. Cinta bisa hilang. Penantian dan
kerinduan bisa sia-sia. Terlalu banyak kemungkinan. Aku harus rasional.
Terakhir, kau ingat? Terakhir aku bilang padamu: aku masih tetap
mencintaimu. Tetapi aku tidak bisa memenjarakanmu dengan perasaanku.
Kita putus. Kamu bebas memulai kehidupanmu, dan aku bebas memulai
kehidupanku. Walaupun pada akhirnya aku masih sendiri dan ternyata tidak
bisa menghilangkan rasa cintaku padamu, aku tidak bisa mengingkari itu.
Walaupun pada akhirnya kamu sudah punya kehidupan sendiri. Aku terima
itu.”
Aku terdiam. Lagi-lagi, bibirnya yang merona dan sedikit bergetar itu
menggangguku. Vera berbusana biasa. Tetapi entah kenapa bagiku hari
ini, penampakannya di otakku menjadi beda. Dia semakin mendekati.
Tanganya mulai terbuka dan….
“Oh, Agung. Bagaimana aku bisa memelukmu. Aku kangeeeen banget.”
“Tidak akan pernah !!!”, kataku menghindarinya. Membiarkan dia
memeluk angin. Tanpa ba bi bu beranjak menuju pegangan pintu. Menutupnya
dari luar.
—
Delapan tahun yang kenyang dengan kekecewaan. Kau mestinya tahu,
Vira. Semenjak hari itu, aku hancur. Disorientasi. Semua tidak lagi
menarik. Kuliahku, pergaulanku, bubar semua. Aku hancur.
Walaupun kemudian, singkat cerita, keadaan mulai membalik, ketika aku
mulai mempelajari agama. Lucu ya, benar-benar seperti sinetron murahan
atau film recehan, bahwa tokoh utama yang hancur kehidupannya lalu
tersadar tanpa sebab, bertemu pengasuh agama atau ustadz, dan kemudian
kehidupannya mulai baik. Tetapi itulah kenyataanku. Aku disadarkan,
ketika mendengar pengajian dari ustad kondang dari sebuah radio tua di
sebuah warung koboi. Kisah tentang Umar bin Khattab. Seorang bandit yang
kemudian tersadar oleh suara puitis yang dialunkan oleh adiknya. Umar
lalu insyaf, dan berubah menjadi salah satu tokoh pilar agama Islam
zaman Rasulullah SAW. Aku jadi tahu, bahwa agamaku compang camping. Aku
sudah melupakan Allah, walaupun aku bukan orang yang tidak pernah
sholat. Tetapi, mungkin, aku tidak pernah tahu sebelumnya, sholatku
untuk apa. Aku mengubah hidupku.
Aku menjalani kehidupan baru di sebuah pesantren mahasiswa. Begitu
serusnya aku untuk mengubah hidup, hingga lupa denganmu. Lupa dengan
kisah kita. Lupa dengan semua yang pernah mengacak-acak perasaanku.
Sampai akhirnya aku berkenalan dengan salah seorang santriwati, yang
kini dia menjadi istriku, Hera.
Kepribadian Hera adalah kepribadian seorang muslimah ideal. Ideal
untuk apapun, apalagi dijadikan sebagai istri. Seperti cerita sinetron
murahan, lagi, kalau disebutkan sifat Hera adalah pribadi yang rendah
diri, pandai mengaji, keibuan, cantik, sabar, penyayang. Lengkap.
Aku menikahinya. Prosesnya sangat lancar, karena aku dibantu oleh Ustadz pengasuh pondok.
Setelah menikah, kami berbahagia. Tidak ada yang salah dengan
istriku. Hera. Hera masih tetap pribadi yang sempurna. Tetapi, kehidupan
pernihakan kami, kurasakan seperti ada yang kurang. Hera seperti sebuah
buku. Tindak tanduknya, hal-hal terkecil, cara berbicara, cara
bersikap, semuanya persis seperti membaca sebuah buku dengan judul:
“Bagaimana menjadi muslimah yang baik”. Pribadi buku. Pribadi dua
dimensi.
Bosan dan membosankan. Mungkin itulah perasaanku. Aku tidak bisa
mencela dia. Jangankan mencela, mencari kekurangannya saja nyaris tidak
mungkin. Tetapi aku harus mengakui bahwa segalanya menjadi hambar. Tidak
banyak canda, tidak banyak perselisihan, tidak banyak bumbu-bumbu.
Dataaaar saja.Dari waktu-ke waktu menjadi semakin membosankan. Sampai
akhirnya kau hadir kembali. Godaan itu, perasaan itu, datang lagi.
Mengancamku.
—
“Ayah, bunda baca buku bagus sekali”, kata Hera pada suatu malam.
“Hmm …”. Apapun yang dia tawarkan pastilah buku-buku agama. Seperti biasanya.
Aku masih fokus menjejakkan tuts keyboard laptop, sampai suatu ketika
sebuah tangan hangat merayap di sekitar leherku. Memijit dengan lembut
pundak-pundakku, menghadirkan perasaan nyaman.
“Ada apa bunda. Kok nggak biasanya”. Yang ditanya senyum aja.
“Nggak…pengen mijitin ayah aja, dari tadi di depan komputer terus. Apa ngga tegang lehernya.”
Tangan-tangan halus itu terus memijir urat-urat leherku. Seolah
memaksaku istirahat dari depan layar laptop. Dan pijitan ini terasa
benar-benar berbeda, ketika tangan lembut itu tak berhenti melingkari
pundakku tetapi terus merajalela ke …sesuatu yang tak bisa dijelaskan di
sini. Terus, dan tak berhenti.
Auch….bunda benar-benar nakal.
—
Pagi ini terasa berbeda. Bangkit dari tempat tidur, mandi wajib
sebelum keburu mendengar kumandang adzan. Aku tak kuasa membangunkan
Hera yang masih berpeluh.
Pulang dari masjid aku masih mendapati istri terlelap.
“Bangun sayang”, kubisikkan di telinganya, sambil menyentuhkan tangan dinginku pada pipinya. Dia tersenyum.
“Mmmh…sudah pagi yaa…”
“Yup…mandilah Bunda.” Dan sekecup sayang mendarat di pipinya.
Aku memandangi Hera bangun, sampai melangkah ke kamar mandi. Oh
bunda, kau beda sekali sekarang. Kau hidup. Penasaran juga apa yang
membuatmu menjadi begitu sempurna. Sampai kulayangkan pandanganku di rak
cermin kamar. Sebuah buku sedikit terbuka halamannya. Buku istriku.
Mungkin ini….hmm…
Satu dua kalimat kubaca. Menarik. Sampai penasaranku harus mengejutkanku saat membuka halaman sampul.
Buku ini !!! Savira Aulia !!
—
BRAKK !!!
Dua buah buku melayang di meja kerja perempuan itu.
“Oh..selamat siang Agung. Salam yang menyenangkan.”
Aku sedikit bergeming.
“Apa maksudmu dengan semua ini!” tanyaku. Yang aku tanya terkejut.
Dia raih buku yang aku banting itu. Melihat dengan kening berkerenyit.
“Maksudmu…?” tanyanya. Belagak pilon.
“Bagaimana bisa bukumu, dengan tanda tanganmu, sampai pada istriku.”
Vira Sedikit terkejut. Matanya yang beralis rapi itu terbelalak.
Ah..aku yakin dibuat-buat. Dia tersenyum, tidak membalas pertanyaanku,
tidak berkata sepatahpun. Mungkin bukan tersenyum, tetapi menahan tawa.
Huh. Tawa kemenangannya. Sungguh sial, dia hanya duduk sembari
menggerakkan kursi putarnya itu. Matanya..matanya yang indah terus
melawan pandanganku yang sudah dipenuhi amarah.
Aku tak tahan. Segera ku beranjak mendekati kursi dimana dia duduk.
Berdiri dan memposisikan ke dua tanganku pada lengan-lengan kursinya.
Membungkuk, mendekatkan wajahku pada wajahnya dengan pandangan yang
ingin benar-benar menelannya.
“Kau jangan pernah membuat skenario murahan untuk merusak rumah
tanggaku. Kisah kau dan aku sudah usai. Jangan ganggu aku lagi. Aku
harap kata-kataku ini cukup jelas kamu dengarkan. Kalau tidak….”
Kata-kataku terhenti. Sungguh mati aku tidak pernah mengancam orang.
Vira, mungkin dia tahu kelemahanku ini. Dimiringkannya sedikit
kepalanya, memandang ke dadaku, sebelum akhirnya menatap mataku dengan
lembut. Atau lebih tepatnya, genit.
“Kalau tidak, Gung.. kamu mau apa?, suaranya lirih, tenang, atau malah lebih mirip..genit.
Aku diam. Dia melanjutkan bicara, masih dengan intonasi yang pelan tetapi lugas.
“Dengar Gung…..Sejak aku datang ke Indonesia. Aku tidak pernah
sekalipun menghubungimu. Aku tidak pernah punya niatan apapun untuk
menemuimu, apalagi berniat mengutak atik rumah tanggamu. Bagaimana kamu
bisa menyimpulkan itu ,”Vira mulai angkat bicara. Kata-katanya diucapkan
dengan intonasi yang sangat jelas. Sembari berkata, dia bangkit,
mendekatkan wajahnya ke wajahku. Mendekatkan tubuhnya ke tubuhku.
Aku menyerah, kini gantian aku yang mundur dan ia mulai berkata
seolah tidak perduli apakah badannya akan menyentuh badanku atau tidak,
apakah wajahnya akan menyentuh wajahku atau tidak. Apakah bibirnya yang
menari itu akan mengenai……
Vira melanjutkan bicara. Dia terus berkata dan berjalan mendekatiku yang semakin mundur hingga menyentuh dinding.
“Kamulah yang pertama mengetahui kedatanganku. Kamulah yang datang ke
tempat kerjaku. Kamulah yang pertama kali menghubungiku. Sekuat apapun
kerinduanku padamu, sebesar apapun cintaku kepadamu, aku tidak pernah
berpikir untuk bisa menemuimu, mengajakmu bicara, membuat nostalgia atau
apapun. Bagiku, kamu punya hak untuk tidak aku ganggu dengan kisah masa
lalu, sebesar apapun aku ingin kembali padamu.”
Dengan matanya yang indah, tajam ia menelanku. Entah berapa kami
saling bertatapan. Diam. Sampai kemudian wajahnya yang serius berubah
menjadi gemulai.
“Aku tahu. Kau tidak bisa menipu, Gung. Kau masih mencintaiku. Kau
masih sangat mencintaiku. Kau bersembunyi di balik kebencianmu dan
reaksi marahmu padaku yang sebenarnya ingin menunjukkan padaku juga
bahwa kau masih sangat mencintaiku, Sayang. Yah, walaupun kau yang
bilang kalau kau sudah menikah, dan kau sangat takut mengakuinya karena
kau sudah menikah. Kau, masih ada perasaan sayang padaku. Iya, kan?
Bukan begitu, kakasih lamaku…?” Vira mengakhiri pembicaraan. Tersenyum,
dan tangannya mulai mengusap kerah bajuku.
Aku diam, keringat dingin menetes di dahiku. Selama sekian detik aku
terdiam dan tidak bisa melawan matanya yang tajam indah itu dan bibirnya
yang merah menari mengeluarkan kata-kata yang sepertinya menjadi
pengakuan dosaku. Entah apa perasaanku, malu, benci,
marah…terhina…entahlah…
Aku tepiskan dia.
Aku segera beranjak meninggalkannya yang masih tersenyum. Melangkah cepat sampai akhirnya dia mengejarku.
“GUNG!!!”
Aku berhenti sejenak. Menoleh padanya. Mau apa dia.
“Bukunya…” Kata dia menunjuk buku Hera di mejanya.
Sial! Kuambil buku itu dan cepat-cepat pergi. Membanting pintu dengan bergemelutuk gigi.
—
Di mobilku, aku menata nafas. Membodoh-bodohkan diri. Mengapa bisa
lupa dengan tujuan semula tentang bagaimana bisa buku karya dia, dengan
tanda tangan dia, sampai ada pada istriku.
Ohh…Vira gila.
Ketika kau pergi dulu, sekuat keyakinanku, aku selalu berharap bahwa
kau akan datang. Tetapi mengapa kau justru hadir pada saat ini. Saat aku
sudah terlalu hancur mengobrak abrik sejarah tentangmu dan menjalani
sesuatu yang baru yang begitu sulit menyusun sekeping demi sekeping
perasaan untuk dia yang sekarang ada di sisiku, yang menafikan kau dalam
cerita ini. Kau, seharusnya tidak lagi ada.
—
Aku tidak ingin membuka percakapan ataupun membahas dengan Hera,
istriku, tentang hal ikhwal mengapa buku Vira bisa ada padanya.
Kuanggap, barangkali memang istriku diam-diam menyadari kekurangannya
dan berburu buku di Toga Mas, Gramed ataupun di manapun toko buku. Dan
ketika ketemu dengan buku karya Vira, maka dia tertarik dan jadi fans.
Dan pas Vira datang ke Indonesia, dia mintakan tanda tangan.
Yah, paling tidak dari situ aku tahu bahwa Vira sangat produktif
menulis, sekalipun dia studi di luar negeri. Walaupun kalau boleh
berpikiran skeptis, aku sangat menaruh keraguan pada tulisan-tulisan
Vira. Ya betapa tidak, bagaimana orang belum menikah bisa produktif
menulis buku-buku tentang problemantika rumah tangga, psikologi
keluarga, memahami pasangan dan sejenisnya. Bisa jadi dia hanya ngibul
dengan justifikasi logika ilmiah, atau paling banter adalah mendengarkan
kisah-kisah dari klien atau rekannya untuk kemudian dikemas jadi buku.
Toh sebuah tulisan, sedikit atau banyak, hanya pandai-pandainya
seseorang merangkai kata-kata. Apa lagi?
Sampai suatu saat Hera bercerita sendiri:
“…jadi memang Vira dan bunda adalah sahabat karib. Sejak SMA. Bunda
menemukannya di facebook. Baru tahu kalau dia aktif menulis. Maka, bunda
dikiriminya buku-buku ini. Heran juga bunda, bisa-bisanya Vira nulis
sebagus ini. Mengagumkan. Oh ya, kenapa Ayah nggak ketemu aja sama dia.
Ayah kan penulis buku-buku Islami. Nah tu, barangkali cocok nulis
bareng.”
Deg…. aku nggak sadar dengan mimik bagaimana menipu Hera seolah bahwa aku tidak ada apa-apa, walaupun hati ini nggak karuan.
“Mmm…memangnya bisa?”
“Lho…kenapa tidak. Oh ya, Ayah. Bahkan, kalau Ayah mengijinkan, dia
akan datang ke sini lusa. Yaah..sedikit reuni lah buat kami berdua.
Boleh ya, Ayah?”
Masya Allah. Vira, ke rumah ini? Huaduh…
“Yyy…ya..tentu saja boleh..Mmm..mengapa nggak boleh.”
–
Hari itu pun datang. Vira datang ke rumahku. Secara tahu sama tahu
kami saling bersandiwara seolah tidak saling kenal. Membiarkan istriku
mendominasi pembicaraan selama pertemuan, dan Vira yang juga diam,
mengiakan dengan senyuman dan anggukan. Dua menit yang terasa lama
sebelum akhirnya, dengan alasan yang sedikit-dibuat-buat, menghindari
pembicaraan mereka berdua.
—
“Vira sangat kagum dengan Ayah”, kata Hera, istriku. Malam selepas
pertemuan reuni mereka. Aku, seperti biasa. Pasang wajah sok cuek.
“Katanya, Ayah penulis yang sangat mengedepankan hati dalam
menyampaikan sesuatu tentang agama. Tidak menjudge. Teduh. Tetapi tetap
tegas dalam berpendirian.”
“Oh ya…?”
“Iya. Dia tertarik untuk membaca buku-buku Ayah. Dia berharap
panggilan hatinya bisa terjawab dengan buku-buku Ayah. Yah, walaupun
hanya hari itu kami bisa bernostalgia, karena besok dia harus mulai
roadshow buku barunya ke berbagai kota di Indonesia. Walaupun masih
kangen, apa boleh buat. Setelah itu, dia balik lagi ke Jerman. Mengajar
di sana.“
Huh, syukurlah jika itu akan cepat belalu.
“Bunda…”
“Hm…”
“Pijitin Ayah dong…”
“Ah..ayaaaah..”
Asseeeeeeek…
—
Jam di arlojiku menunjukkan pukul 4.15. Bandara dengan segenap
keadaanya. Hari ini Vira akan balik ke Jerman. Hera, memaksaku menemui
Vira di bandara, sekedar saling sapa untuk kemudia melepasnya naik
pesawat yang menuju ke Jerman. Di depan pintu keberangkatan istriku
sudah mulai gelisah menatapi semua pengunjung yang lalu lalang.
Aku, walaupun selalu deg-degan, mencoba bersandiwara dengan pura-pura
membaca harian pagi. Sekedar kamuflase keadaan. Entah berita apa yang
ada di koran. Pokoknya baca. Sampai suatu ketika.
“Hai Viraaaaaaaa…….wooowww…surprise kamu cantik sekali,” teriak Hera.
Aku mulai menarik koranku dan memandang ke suatu arah. Entah apa yang
kulihat. Detik demi detik seolah dihetikan dan semua menjadi semacam
slow motion. Aku ternganga. Sungguh ternganga. Suasana ramai bandara
seolah menjadi sunyi senyap demi sebuah sosok yang sedang melangkah,
tersenyum dan melambaikan tangannya.
Aku berdiri perlahan dan mematung. Tanpa terasa koran yang aku pegang jatuh dan entah tertiup angin atau ke mana.
Diakah Vira? Oh, jantungku berdegup sangat kencang. Sesosok perempuan
cantik dengan memakai busana muslim, mengenakan jilbab, melangkah
dengan anggun ke arah kami. Dia…dia hari ini memakai jilbab…Oh…sungguh
cantik sekali. Senyumnya, cahaya wajahnya, gerakan tubuhnya,
penampilannya seutuhnya berubah total. Ya Allah cantiknya mahlukmu ini.
Tak terkatakan.
Kejadian selanjutnya tidak bisa aku jelaskan. Entah apa yang Hera
bincangkan dengan Vira, dan entah apa tingkah bodohku yang mematung. Aku
tidak tahu pasti kecuali tidak henti-hentinya mencuri-curi pandang ke
arah Vira. Ke arah sosok yang mencuri seluruh akal sehat di kepalaku di
saat itu.
Sampai kemudian sosok cantik itu meninggalkan ruang keberangkatan
menuju boarding pass, seketika itu juga perlahan-lahan kesadaranku
dikembalikan. Jantungku kembali normal. Sampai saat dia hilang di
tikungan.
Saat semua sudah selesai, Hera menarik tanganku menuju parkir mobil.
Sebersit pikiran nakal di kepala muncul : hm…bisa nggak ya poligami.
Astaghfirullah…!!!!
sumber: http://feriawan.wordpress.com/